CIKAHURIPAN DI SITUS PANCALIKAN GUNUNG PADANG GAMBARKAN KEHIDUPAN MELALUI WISATA SEJARAH
Ciamis, Para penggiat seni budaya dan sejarah mungkin akan terus berpetualang dalam mencari sebuah literasi kehidupan nenek moyang atau istilah lain karuhun, napak tilas merupakan salah satu bentuk atau wujud ketika kita dapat menggambarkan kehidupan dimasa lalu. Entah itu berupa bukti fisik maupun non fisik, sama hal nya yang dilakukan oleh beberapa penggiat peduli sejarah yang tergabung dalam sebuah tim. Berawal dari kesamaan pandangan lahirnya TIM Ekspedisi 13 memiliki misi “Nyukcruk Galur Mapay Laratan”. Tim yang terdiri dari beberapa elemen ini mulai dari penggiat seni, pakar budaya, spritualisme, maupun anggota entertainment dirintis pada tahun 2013 lalu. Kesamaan inilah yang melatarbelakangi kepedulian terhadap sejarah khususnya karuhun terdahulu.
Berbicara mengenai unsur kesejarahan banyak sekali erat kaitannya mulai daerah satu ke daerah lain, apalagi di tatar priangan termasuk daerah Galuh itu sendiri sebagai barometer lahirnya ungkapan Kota Klasik, tak heran karena pada dasarnya kawasan di daerah Galuh masih terdapat tempat-tempat bukti sejarah peradaban yang belum terungkap baik berupa bukti patilasan, naskah, situs, maupun artefak lainnya. Salah satu potensi wisata sejarah yang mesti dikunjungi ialah Situs Pangcalikan Gunung Padang tepatnya di Desa Sukaresik Kecamatan Cikoneng Kabupaten Ciamis atau Jl. Achmad Dahlan, lingkungan Rancapetir, Kelurahan Linggasari, Kecamatan Cikoneng Kabupaten Ciamis. Hutan lindung yang memilki potensi obyek wisata sejarah ini memikili luas sekitar 7 hektar berupa perbukitan dan juga pepohonan khas sebuah hutan lindung.

Masyarakat setempat biasa menamakannya dengan sebutan Pancalikan atau menurut orang sunda berarti tempat duduk. Pada kompleks situs Pangcalikan Gunung Padang terdapat objek berupa bangunan berundak, makam, dan kolam. Adapun hal yang menarik dari Situs Gunung Padang ini terdapat 1 kolam yang disebut Cikahuripan yang berukuran sekitar panjang 4.80 m dan lebar 3.70 cm. Terdapat juga tiga sumur kecil sebagai sumber mata yang mengalir ke kolam kahuripan melalui bawah tanah. Tim beranggapan bahwa Kolam inilah yang memberi ciri adanya tanda-tanda kehidupan pada zaman dahulu. Konon katanya, Cikahuripan ini dapat memberikan disamping kesegaran ada anggapan juga tentang awet muda bagi yang meminumnya.
Menurut sumber dari Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Barat melalui web resminya, Situs Pangcalikan Gunung Padang dikaitkan dengan Kerajaan Galuh. Diceritakan bahwa Sri Maharaja Adi Mulya adalah seorang raja dari kerjaan Galuh. Pada waktu ia memerintah sangat disegani rakyatnya. Beliau mempunyai dua orang istri yang pertama bernama Naga Ningrum berputra Ciung Wanara dan yang kedua Dewi Pangrengep yang berputra Hariang Banga. Sementara beliau memerintah dibantu oleh seorang patih bernama Aria Kebonan dan seorang longser. Aria Kebonan adalah seorang patih yang cukup cakap sehingga segala perintah raja dapat dilaksanakan dengan baik. Pada suatu hari dalam hati kecil Patih berkeinginan menjadi raja. Keinginan ini kian menjadi sehingga dengan sekuat tenaga Kerajaan Galuh dapat direbutnya.
Raja Sri Maharaja Adi Mulya merasa tersingkir dan akhirnya beliau pergi ke sebelah barat bermaksud mengasingkan diri dan bertapa di sebuah tempat dan menyamar dengan mengganti nama menjadi Ki Hajar Sukaresi. Ada yang mengatakan untuk menghilangkan jejaknya sampai dua badan kasarnya juga dirubah menjadi ular yang sangat besar yang bernama Naga Wiru. Setelah bertapa, dengan dibantu oleh Giri Dawang, beliau berniat untuk merebut kembali tahta Kerjaan Galuh. Setelah kerajaan dapat direbut kembali kerajan itu diserahkan kepada putranya yaitu Ciung Wanara di sebelah barat dan Hariang Banga di sebelah timur. Tempat ketika bertapa dan menyusun kekuatan inilah bernama Gunung Padang yang sampai sekarang masih bisa dilihat menjadi tempat berjiarah yang banyak dikunjungi.
Kendati demikian Situs Pangcalikan Gunung Padang merupakan peninggalan purbakala yang berhubungan dengan bentuk sistem religi masyarakat masa lampau. Ada baiknya dalam proses pengembangan untuk jendela wisata senantiasa memperhatikan faktor lingkungan dan makna simbolis yang berkaitan dengan religi masa lampau dan tak ada ubahnya tentang nilai budaya luhur yang terkandung di dalamnya yang harus terus dijaga. Ambu Uti selaku penggiat Seni dan Juga Pelatih Kesenian Treatrikal mewakili Tim Ekspedisi 13 “Nyukcruk Galur Mapay Laratan merupakan simbolis bagaimana kita memahami peradaban suatu bangsa, karena adanya kita pasti ada masa lalu”. (Gdy)
Gapura Priangan